" Will you
follow me, one last time?"
(Thorin Oakenshield)

Cast : Martin Freeman, Ian Mckellen, Lee Pace, Richard Armitage, Luke Evans, Cate Blanchett, Evangeline Lilly, Benedict Cumberbatch, Hugo Weaving, Orlando Bloom
Director : Peter Jackson
Runtime : 144 minutes

IMDb rates : 8, 2 / 10
theblackticketreview : 3 / 5

Review :
Semenjak Diangkatnya Lord Of The Ring ke dalam layar perak menjadikan Peter Jackson sebagai salah satu sutradara yang di perhitungkan dalam industri perfilman dunia internasional. Bagaimana tidak, hasil interpretasi novel karya J.R.R. Tolkien dapat disajikan dengan sangat baik (dan epic tentunya) dan sangat berkualitas oleh Peter Jackson. Para penikmat film dan pembaca novelnya seakan ikut tenggelam dalam dunia Middle-earth ala Peter Jackson. Bahkan New Zealand yang menjadi tanah kelahiran dari sang sutradara menjadikan Lord Of The Ring sebagai film nasional mereka. Sukses baik dari segi keuntungan blockbuster dan perolehan dalam ajang bergengsi sekelas Oscar menjadikan Peter Jackson memutuskan untuk membawa mengangkat kembali novel pre-quel dari Lord Of The Ring. Ya.. Peter Jackson memutuskan bahwa proyek selanjutnya adalah petualangan dari paman Frodo yaitu Bilbo Bagins dalam film The Hobbit.
Novel The Hobbit karya Tolkien sejatinya adalah novel yang terdiri dari satu buku bukan seperti Lord Of The Ring yang terbagi dalam tiga buah buku. Peter lantas memutuskan akan membagi The Hobbit ke dalam tiga film atau mengikuti trilogy Lord Of The Ring. Segera setelah kedua film terdahulunya (The Hobbit : Unexpected Journey dan The Desolation Of The Smaug), Peter memutuskan mengakhirinya dalam Battle Of The Five Armies. Apakah film penutup saga The Hobbit ini mampu membayar tuntas ekspektasi para penikmat film dan novelnya?
Apakah ini dapat menjadikannya sebuah penutup yang manis dalam trilogy The Hobbit (terlebih dalam dua film sebelumnya banyak penikmat film dan novel yang menganggapnya biasa saja)?
Tampaknya jawaban atas semua pertanyaan tersebut masih jauh dari harapan...
Benar.. ini merupakan sebuah end of era dari The Hobbit, namun tampaknya film ini tidak dieksekusi dengan baik oleh Peter Jackson. Dalam lanjutan babak ketiga dari The Hobbit ini, menceritakan tentang perjuangan terakhir Bilbo (Martin Freeman) bersama kedua belas Drawf yang dipimpin oleh Thorin Oakenshield (Richard Armitage) setelah mereka menguasai kembali Erebor. Bilbo juga mencoba untuk mencegah terjadinya perang besar yang melibatkan   pihak Drawf, Elf, dan manusia. Demikian cerita secara garis besar dalam saga penutup dari film The Hobbit ini.

Banyak sekali alur yang dipaksakan seakan ia ingin menampilkan suatu aksi tearikal yang epic. Pada paruh pertama film sudah tampak rasa terburu-buru tersebut dimana beberapa scene banyak meninggalkan kesan tidak rapi dan berlubang (saya tidak akan mengatakannya secara mendetail, namun beberapa adegan di awal film berjalan tidak alami antara sang hero dan anti-hero). Film ini sendiri terfokus pada empat konflik utama yaitu konflik antara tokoh Bard (diperankan oleh Luke Evans), Thorin Oakenshield (Richard Armitage) dan Bilbo (Martin Freeman), Thranduil (Lee Pace), dan tentu saja Gandalf (Ian Mckellen). Dimana dalam petualangan terakhir ini mereka akan menuntaskan semuanya akar permasalahan konflik mereka di Lonely Mountain Erebor.

Kesan cerita dari novel yang terasa dipanjang-panjangkan langsung muncul kedalam permukaan manakala cerita mulai bergulir menuju paruh kedua film. Banyak sekali adegan tidak penting dan terasa menghabiskan scene (lebih spesifiknya adalah scene yang sia-sia) ditemukan dalam paruh kedua film. Ada beberapa scene terutama yang melibatkan Tauriel (Evangeline Lilly) salah satu heroine membuat penikmat film mengerutkan dahi bertanya apakah scene tersebut penting untuk di tayangkan.
Peter Jackson seperti ingin langsung fokus pada pertempuran akhir (atau dapat disebut pertarungan tunggal akhir) antara good vs evil. Dan dapat ditebak, film ini kehilangan fokus menjelang akhir..
Ada beberapa adegan yang ditujukkan untuk penghormatan Lord Of The Ring, dimana Mithril ditampilkan kembali. Peter Jackson juga menyelipkan beberapa adegan untuk menjadi jembatan antara peristiwa The Hobbit dan Lord Of The Ring.. Namun terasa hampa dan kurang (meski apabila dipoles lebih baik dari segi cerita, maka akan menampilkan sesuatu yang menarik).
Babak akhir bergulir dengan banya adegan klise dan mudah ditebak (ayo lah..anda tidak dapat menampilkan pengulangan adegan seperti ini apabila anda telah melakukannya beberapa tahun lalu).
Visual yang penuh dengan CGI terkadang juga menjadi pengganggu dalam film ini, khususnya adegan konflik Thorin. Dan adegan perang yang terasa sangat lama namun hampa tidak seperti Lord Of The Ring.. Pemilihan Kamera jenis Red Epic sendiri menjadi senjata makan tuan bagi Peter Jackson, dimana apabila anda terbiasa dengan pemandangan Lord Of The Ring yang hangat maka hal tersebut tidak akan anda temui dalam film ini.
Kredit lebih saya berikan kepada Lee Pace, Martin Freeman, Richard Armitage, dan Benedict Cumberbatch yang mampu menampilkan peforma berkualitas (khusus Benedict Cumberbatch, ia sungguh dapat menghidupkan sosok Smaug sang naga dan Necromancer)...
Memang tidak adil membandingkan kedua saga ini secara langsung.. Namun dengan sutradara yang sama, kami mengharapkan adanya perasaan yang sama atau kepuasan yang sama ketika selesai menyaksikan film.
Film ini cukup menghibur, namun dalam ukuran skala penutup suatu saga trilogy tentunya masih kurang kuat dan cenderung terburu-buru..
Nampaknya memotong sebuah novel yang berjumlah kurang dari 400 halaman menjadi tiga bagian film merupakan suatu tindakan untuk mencari keuntungan semata.
Apalagi dengan sutradara sekelas Peter Jackson (dengan film sekelas Lord Of The Ring) tentu kami mengharapkan adanya film berkualitas dan epic..
Saran saya adalah saksikan film ini (apabila anda telah menyaksikan dua film terdahulunya) tanpa berharap lebih atau berekspektasi tinggi... cukup menikmati saja sajian perpisahan ala new modern Middle-earth ini..

Movie Trivia :
* Dalam film ini terdapat karakter anak dari Bard (Luke Evans) yang diperankan oleh Jhon Bell (sebagai Bain), Peggy Nesbitt (Sigrid), dan Marry Nesbitt (Tilda). Dimana ketiga anak tersebut merupakan anak dari aktor James Nesbitt pemeran tokoh salah satu Drawf Bofur.

* Ian Mckellen menyebutkan bahwa setidaknya ada tujuh pemeran pengganti sebagai Gandalf, dikarenakan ia tidak berusia muda kembali untuk melakoni adegan pertarungan.

Source : IMDb, The Guardian UK, Rogerebert movie viewers

Trailer link :
http://m.youtube.com/watch?v=ZSzeFFsKEt4

"Remember this... I am prepared to fight....For eternity.."
(Moses)

Director : Ridley Scott
Cast : Christian Bale, Joel Edgerton, Jhon Turturro, Aaron Paul, Ben Mendelshon, Sigourney Weafer, Ben Kingsley, Maria Valverde, Andrew Tarbet, Isaac Andrew
Runtimes : 150 minutes
IMDb rate : 6, 8 / 10
theblackticket rate : 4 / 5

Review :
Industri perfilman Hollywood telah sering kali menghasilkan beberapa film dengan tema biblical story dalam kurun waktu beberapa dekade terakhir ini. Film dengan tema perjalanan hidup orang suci tersebut seperti tidak habis di kupas oleh para sineas Hollywood.
Sebutlah film biblical story yang kondang seperti The Ten Commandments (karya sutradara Cecil B. DeMille, 1956) yang menghasilkan Oscar, Passion Of The Christ (karya Mel Gibson, 2004), atau Noah (karya Darren Aronofsky, 2014), selalu mampu menarik minat para penonton untuk memenuhi gedung bioskop. Dikarenakan film tersebut sarat makna atau dikarenakan adanya pro dan kontra yang tidak dapat lepas dari film tersebut.
Keputusan Ridley Scott untuk menjadikan kisah hidup Nabi Musa (Moses) sebagai proyek film selanjutnya mampu menarik banyak kalangan tertarik dan menantikan seperti apa film biblical story ala Ridley Scott. Terlepas ia adalah sutradara bertangan dingin yang mampu menghasilkan film kelas oscar (seperti Gladiator dan Robin Hood) atau film science fiction yang berkualitas (Alien dan Prometheus).
Publik seakan penasaran atas interpretasi Ridley Scott dalam ranah film berbau religiusitas, terlebih film tentang Nabi Musa telah lebih dulu difilmkan dan berhasil sukses dalam film The Ten Commandments karya Cecil B. DeMille.
Lalu..Bagaimanakah hasil film besutan Scott terbaru ini? Mampukah memuaskan publik? Atau film tersebut hanyalah sebuah tiruan dari karya lama dengan penambahan efek digital yang lebih maju?
Film terbaru Scott tentang Nabi Musa ini berjudul Exodus.. bercerita tentang Moses (yang diperankan oleh Christian Bale) yang tumbuh bersama dengan Ramses (Joel Edgerton) sebagai pangeran Mesir, sahabat, dan saudara. Konflik mulai datang manakala Moses mulai memahami siapa dirinya yang sebenarnya dan tujuan dirinya untuk menyelamatkan kaumnya dari perbudakan panjang bangsa Mesir. Demikian adalah garis besar dari cerita film Exodus ini.
Paruh pertama film, anda akan langsung disuguhkan oleh tayangan visual ala Ridley Scott. Panorama yang indah dan tampak detail seakan meyakinkan kita bahwa Mesir jaman dahulu memang selalu epic dan menakjubkan. Pengenalan tokoh utama juga berjalan sangat alami tanpa adanya paksaan, dimana kita dapat langsung melihat bahwa Moses dan Ramses memang layaknya dua orang saudara yang sangat dekat. Penggambaran Moses mampu diperankan oleh Christian Bale dengan sangat baik (dia seperti biasa mampu mengiris lewat kamera), demikian dengan sosok Ramses juga diperankan dengan apik oleh Joel Edgerton (kesan angkuh, selalu ingin berkuasa, dan mencintai dirinya sendiri mampu dibawakan dengan apik).
Film ini juga dengan baik mampu mengaduk-aduk emosi penonton, dimana dalam beberapa adegan terlihat mencekam dan begitu gelap.
Kredit lebih saya berikan kepada sosok Isaac Andrew yang memerankan sosok Malak (interpretasi sosok Tuhan, dalam film ini) yang mampu memerankannya dengan lugas, tegas, misterius dan tak jarang sedikit memiliki perasaan emosional.
Adegan perang dalam film ini juga disajikan tanpa berlebihan dan tampak lebih real (kembali tanpa adanya unsur paksaan dalam adegan ini).
Disamping menceritakan kisah Moses yang terkenal, film ini lebih mengutamakan romantisme bromance antara Moses dan Ramses yang kental serta trust issue yang menghancurkan mereka yang disampaikan oleh Scott dengan brilian dan menyentuh.
Scott seakan ingin memberikan gambaran kepada penonton dimana ketika dua orang saudara yang sangat dekat namun terpaksa harus saling berhadapan dan membela keyakinannya dan bangsanya, hal itu akan menyebabkan terjadinya suatu pergulatan emosional yang sangat menyakitkan diantara kedua orang kuat tersebut.
Sebuah film cerdas yang banyak memberikan pesan emosional (terlebih film ini ditujukan untuk adik dari Ridley Scott yaitu mendiang Tony Scott) dan sebuah film dengan tema bromance yang lekat.
Banyak yang mengatakan bahwa Exodus merupakan sebuah remake dari The Ten Commandments..Namun saya pribadi menilai bahwa hal tersebut tidak adil, karena Exodus merupakan sebuah karya biblical story yang dituangkan secara orisinal dan berkualitas oleh Ridley Scott.
Terlepas dari pro dan kontra yang menyertainya, ini merupakan sebuah film berkelas dengan seuntuhan historis dan religi yang dalam.
Salute Mr. Scott.. You are the epic director..

Movie Trivia :
* Christian Bale mengambil interpretasi Moses dari berbagai refrensi kitab suci dan beberapa data historis.
* Film ini merupakan film tercepat yang di selesaikan oleh Ridley Scott, dimana hanya dalam kurun waktu kurang lebih satu tahun.

Sources : The Guardian Uk, IMDb

"There's one other name you might
know me by... Star Lord."
(Peter Quill)

Director : James Gunn
Cast : Chris Pratt, Zoe Saldana, Dave Bautista, Bradley Cooper, Vin Diesel, Lee Pace, Karen Gillian, Djimon Hounsou, Benicio Del Toro, and Glenn Close

Run times : 121 minutes
IMdB rate  : 8, 3 / 10
theblackticket review : 4 / 5

Review :
Banyak orang mengerutkan dahi saat Marvel dan Walt Disney mengumumkan akan mengangkat Guardian Of The Galaxy sebagai film teranyar mereka dalam ajang Comic Coon 2013, hal yang sangat aneh tentunya untuk langkah kedua nama besar dalam dunia perfilman tersebut untuk menandai Marvel Cinematic Universe fase 2 buatan mereka.
Bukan tanpa sebab pastinya, ayo lah..kita harus mengakui bahwa kita telah sangat akrab dan paham mengenai para superheroes buatan Marvel. Sebutkan saja nama superheroes buatan Marvel, maka akan muncul nama familiar seperti Iron Man, Captain America, Thor, X-men, Spiderman, dan masih banyak lagi..
Namun Guardian Of The Galaxy?
Saya berani bertaruh bahwa anda pasti baru mendengar atau mungkin mengenalinya sebatas angin lalu. Sungguh suatu pertaruhan besar bagi Marvel dan Disney untuk mengangkat karakter-karakter ini ke dalam film live action. Dengan popularitas yang minim dan banyak pertaruhan mereka mempercayakan kepada seorang filmmaker yang tidak terlalu populer di kalangan movie viewers yaitu James Gunn.
Lalu apakah hal tersebut merupakan langkah yang tepat?
James Gunn berhasil menjawab pertanyaan tersebut dengan sangat mantap dan meyakinkan. Sukses secara kualitas dan komersil membuktikan bahwa superhero tidak hanya dikuasai oleh karakter mayor saja, namun karakter antihero atau minor mampu berbicara banyak dalam block buster movie.
Guardian Of The Galaxy (GOTG), bercerita tentang Peter Quill (Chris Pratt) adalah seorang manusia yang di culik dan di besarkan oleh kawanan pirates luar angkasa, dimana ia harus mengalami petualangan yang mengharuskan ia bekerja sama bersama Gamora (Zoe Saldana), Rocket (Bradley Cooper), Drax (Dave Bautista), dan Groot (Vin Diesel) sekelompok orang (atau makhluk?) yang memiliki masing-masing tujuan demi mengamankan infinity stone dari tangan Rhonan (Lee pace). Konsep cerita yang sederhana namun berkesan bagi sebagian besar penonton. Sungguh sajian aksi dalam film ini terbangun rapi dengan jalinan cerita dan humor yang menarik. Sejak fase awal film, James Gunn seperti tidak memaksakan pengenalan tokoh karakter GOTG, namun ia membiarkan penonton mengikuti alur cerita diselingi banyak adegan humor yang tepat. Semua aspek dalam film ini adalah fantastis dan selalu membuat penonton seakan bersimpati dengan apa yang dialami oleh kelima tokoh utamanya.
Pemilihan Chris Pratt sebagai Peter Quill adalah langkah brilian, Chris Pratt membuktikan bahwa ia telah layak menyandang predikat the leading man on the movie.. lalu bagaimana dengan pemeran lainnya?
Semuanya memiliki kekhasan yang unik dan seakan selalu tertanam dalam benak penonton (entah dari cara Groot berbicara atau cara Rocket yang selalu cerewet namun mengundang simpati hingga pesona Gamora sebagai lady assassin).. Jangan lupakan pula kehadiran Drax (Dave Bautista) yang patut diberikan kredit lebih atas karakter yang unik dan berkesan.
Lee Pace juga seakan tidak ketinggalan menunjukkan bahwa ia mampu memerankan seorang villain menyeramkan namun sangat..ya..sangat badass..
Satu hal yang saya puji adalah pemilihan score dan sountrack film, dimana James Gunn menghadirkan sejuta kenangan atas tembangan tahun 80'an sepanjang film seakan menandakan bahwa Peter Quill mengajak kita untuk mengikuti petualangan ala Star Warsnya dengan alunan musik 80'an.
Over all.. sebuah film yang sangat menarik dan membuat anda memahami bahwa superhero tidak selamanya datang dari sosok good guys saja.. kadang kala, sosok bad guys atau loser mampu membalikkan prediksi banyak orang..
James Gunn berhasil membangkitkan romantisasi akan sosok superhero dalam sosok anak kecil di dalam diri tiap orang.
Everybody..Let's say i'm Groot!!!

" People are affraid of what they don't understand..."
(Jonathan Kent)

Director : Zack Snyder
Cast : Henry Cavill, Amy Adams, Michael Shannon, Russell Crowe, Kevin Costner, Laurence Fishburne, Diane Lane
Runtimes : 2013
IMdB rate : 7, 3 / 10
theblackticketreview rate : 2, 5 / 5

Review :
Tema superhero sepertinya sedang menjadi suatu tren yang menghasilkan keuntungan besar bagi rumah produksi film di ranah Hollywood. Apalagi terkait dengan Warner Brothers dengan DC comicnya dan Walt Disney yang menggandeng Marvel comic (termasuk Sonny Pictures), kedua perusahaan tersebut seperti tidak henti-hentinya menghasilkan film superhero demi menghasilkan keuntungan bagi mereka dan demi kelangsungan masing-masing franchise movie mereka.
Terlebih Warner Brothers selepas berakhirnya The Dark Night Trilogy (film superhero terbaik dari mereka menurut saya), maka dengan segera mereka mencari pengganti untuk franchise superhero unggulan mereka tersebut (ayo lah akui saja.. Green Latern berakhir dengan mengenaskan hingga untuk sequel saja Jordan Hall harus menunggu dengan waktu yang tidak di tentukan). Lantas, apakah yang menjadi syarat untuk menjadi franchise film superhero yang berkualitas dan menghasilkan keuntungan besar? Karakter superhero yang telah dikenal luas oleh khalayak umum (jelas!!), sutradara dengan tangan dingin yang mampu menghidupkan sosok superhero tersebut dalam layar lebar, aktor atau aktris yang mampu menghidupkan dan mendalami karakter dalam film superhero tersebut, dan tentunya susunan cerita dan aksi yang siap membuat para fan boy or girl terhibur (atau banyak kalangan merasa puas setelah menyaksikan film superhero tersebut).
Atas dasar tersebut, maka Warner memutuskan untuk kembali menghidupkan kembali sosok Superman ke dalam layar perak (setelah gagal oleh Superman arahan Bryan Singer, dimana Brandon Routh tampak seperti boneka Ken dengan sepasang celana berenang merah di luar..), lalu apakah upaya tersebut berhasil? Apakah Superman akan kembali menjadi franchise andalan mereka?
Sayangnya.... Tidak..
Sukses secara komersil namun gagal secara kualitas, itulah yang terjadi pada film terbaru Superman dengan judul Man Of Steel (dari judul Snyder nampaknya meniru pemberian judul Nolan pada film batmannya, dengan tidak menyebutkan nama superhero tersebut dalam judul filmnya).
Dari awal film kita dapat melihat bahwa pengaruh Christopher Nolan sebagai eksekutif produser film ini nampak jelas terlihat, dimana dunia Krypton tampak megah dan suram. Pemilihan Russell Crowe sebagai Jor-El sendiri adalah langkah tepat dimana ia dengan kharismatik mampu menampilkam Jor-El sebagai sosok tegas namun memiliki kerapuhan tersendiri. Sayangnya adegan kematian Jor-El sendiri bagaikan kertas datar tanpa ekspresi (satu dari banyak adegan yang tampak terburu-buru).
Lalu bagaimana dengan Henry Cavill?Apakah ia mampu memerankan sang manusia besi dengan baik?..
Paruh pertama film ia tampak meyakinkan, dimana emosinya sebagai sosok yang frustasi mencari jati diri mampu dibawakan dengan baik. Sampai pada titik saat ia berjubah dan bertemu dengan Lois Lane (Amy Adams terlihat jauh lebih tua, pemilihan casting yang buruk..), dimana Henry Cavill nampak sangat datar dan sangat biasa (Warner nampak akan kesulitan menemukan pengganti Christhoper Revee).
Untuk villainnya sendiri yang diperankan Michael Shannon (sangat disayangkan, ia sebenernya adalah aktor bagus dan berkualitas) memiliki kesan kurang kharismatik, General Zodd akan gampang dilupakan oleh banyak orang. Sayang sekali.. Ide cerita yang menarik dari Nolan tidak dapat dieksekusi dengan baik oleh Snyder. Banyak adegan yang terlalu buru-buru dan dipaksakan, menantikan sequel? Mungkin masih bisa diperbaiki (dengan begitu banyak kekurangan di film pertamanya) dan tentunya eksekusi berkualitas oleh Snyder sendiri.
Sebagai fan boy anda akan merasa kecewa, dan sebagai penonton umum, film ini tidak lebih dari hiburan semata.
Well..we still give you another shoot Mr. Snyder..

Movie Trivia :
Amanda Seyfried sempat menjalani proses casting dan screening test untuk cas Lois Lane, namun gagal saat fase akhir.
   

 
Copyright © 2015 The Black Ticket Movie Review
Distributed By Gooyaabi Templates