Owen Grady : " She's killing for sport.."

Directed by : Colin Trevorrow

Written by   : Colin Trevorrow, Amanda Silver, Rick Jaffa

Rating         : PG-13

Cast            : Chris Pratt, Bryce Dallas Howard, Irfan Khan, B. D. Wong, Ty Simpkins, Nick Robbinson, Omar Sy, Jake Jhonson, Vincent D'onofrio, Brian Tee, Colin Trevorrow

Critic Rating's :
Rattoen Tomatoes : 71%
IMdB                       : 4 stars from 5
the black ticket      : 4,5 stars from 5

Review (May Content some spoilers!!):

Di tahun 2015 ini terdapat beberapa film sequel yang memiliki rentang waktu yang cukup panjang dari film terdahulunya. Baru saja kita di sajikan Mad Maxx : Fury Road karya George Miller di bulan Mei lalu yang memiliki jarak 30 tahun dari sequel terdahulunya. Di bulan Juni ini kita kembali di sajikan film sequel yang memiliki jarak cukup jauh dari film terdahulunya. Jurassic Park (JP) memiliki kurang lebih 15 tahun jarak antara film terdahulunya dengan Jurassic World (JW) sebuah sequel anyarnya. Sungguh suatu penantian yang panjang bagi para fans dari film ini.
Namun, apakah penantian panjang fans tersebut di bayar lunas oleh film ini?
Apalagi sosok nahkoda di film ini telah berganti kepada sosok nahkoda baru (kita semua mengetahui bahwa Steven Spielberg selaku sutradara film pertama dan kedua telah berhasil membawa saga film ini ke level cult atau klasik.).
Apakah keputusan studio menempatkan Colin Trevorrow sebagai sutradara dalam JW ini berbuah sukses?
Jawaban dari kedua pertanyaan tersebut adalah : YA dan YA.
Collin Trevorrow dapat membawa kita kembali ke ingatan masa lalu yang menyenangkan (mungkin sebagian dari anda masih berusia sangat muda ketika menonton kedua film terdahulu..), dan menambah beberapa nyawa baru dalam film ini.
Paruh pertama film dibuka dengan penampakan alam theme park JW yang memukau, masih dapat membuat kita terpesona dan membayangkan bahwa taman ini seakan-akan benar-benar ada. Pengenalan tokoh dalam paruh babak awal berlangsung secara halus tanpa di paksakan. Memang ada beberapa bagian awal cerita yang seperti mengalami dejavu, dimana dua orang anak (diperankan dengan baik oleh Ty Simpkins dan Nick Robbinson) akan mengajak penonton untuk memulai petualangan dalam taman ini. Selebihnya adalah konsistensi tokoh yang dibangun secara halus dan menarik untuk diikuti.
Baik, selanjutnya adalah pengenalan jenis Dinosaurus dalam taman ini. Dinosaurus di tampilkan secara apik dan merata bagiannya, membuat penonton dapat menghafal nama dinosaurus tersebut (Mesosaurus menampilkan tribute untuk film Jaws yang berkesan bagi para penonton). Selebihnya dalam babak pertama film ini adalah kembalinya memori manis kita tentang alasan mengapa kita menyukai franchise film ini (momen kagum akan taman fantasi berisi binatang-binatang purbakala yang epik..ahhh..sungguh menyenangkan).
Babak berikutnya menampilkan sosok bad dino yang akan mencuri panggung sementara dari T-rex..
Setelah lama menebak-nebak seperti apa sosok dinosaurus penebar teror dalam film ini (tidak sedikit yang mengecam keputusan Colin Trevorrow untuk menampilkan dinosaurus versi hybird), akhirnya terjawab melalui sosok Indomius Rex (Forever King dalam pengartian namanya).
Sosok dinosaurus ini di tampilkan secara lugas, gabungan dari beberapa DNA dinosaurus, cerdas, dan tentunya.. tanpa ampun.
Penampilan Indomius Rex sendiri membuat lupa penonton bahwa di film terdahulunya ada sosok T-rex yang juga sama ganas dan mencekamnya. Memang ada beberapa scene ketika Indomius Rex tampil seakan mengulang sosok T-rex dalam aksinya, tetapi selebihnya penonton akan percaya bahwa sosok dinosaurus hybird ini memiliki kemampuan di atas T-rex.
Jangan lupakan pula penampilan Velociraptor sebagai salah satu dinosaurus karnivora cerdas favorit para fans saga ini. Velociraptor di film ini dapat di kendalikan (atau tidak?..) oleh pihak taman, dimana terdapat scene yang seakan mengingatkan kita bahwa dinosaurus ini tetap memiliki peranan istimewa.
Adegan teror bad dino dalam film ini secara keseluruhan di tampilkan dengan intens dan konsisten. Memang ada beberapa scene yang sedikit dipaksakan, namun mampu ditutupi oleh peforma apik duo Chris Pratt (sebagai Owen Grady) dan Bryce Dallas Howard (sebagai Claire). Adegan hide and seek ala JP antara manusia versus dinosaurus di tampilkan dengan brilian, memang tidak serapat dan tegang seperti film pertama, tetapi tetap memberi kejutan tersendiri.
Ada sedikit twist menjelang babak akhir dan pertarungan (saya pribadi menyebutnya adegan paling brutal dan epik dalam sejarah franchise film ini) maha epik dinosaurus versus dinosaurus. Film ini ditutup dengan menyisakan beberapa petunjuk penting kehadiran InGen (mungkin akan ditampilkan secara intens di sequel berikutnya) dan kembalinya tahta taman kepada sang empunya kuasa...
Kritik yang di alamatkan kepada Colin Trevorrow (tentang penggunaan CGI berlebihan dan pemilihan dinosaurus yang kurang tepat..) mampu di jawab dengan cerdas.
Well..In the end, who's not gonna amazed with this park?

Movie Trivia :
* Chris Pratt menjalankan semua adegan stunt tanpa bantuan dari stuntman.
* Steven Spielberg sempat ingin menunjuk Gareth Edwards untuk menangani film ini, namun yang bersangkutan bentrok jadwal hingga memutuskan mundur.
* Mendiang David Attenbrough (pemeran Jhon Hammond) mendapat penghormatan dalam film berupa patung yang berada di aula utama taman.

Movie trailer :

http://www.youtube.com/watch?v=RFinNxS5KN4

" Will you
follow me, one last time?"
(Thorin Oakenshield)

Cast : Martin Freeman, Ian Mckellen, Lee Pace, Richard Armitage, Luke Evans, Cate Blanchett, Evangeline Lilly, Benedict Cumberbatch, Hugo Weaving, Orlando Bloom
Director : Peter Jackson
Runtime : 144 minutes

IMDb rates : 8, 2 / 10
theblackticketreview : 3 / 5

Review :
Semenjak Diangkatnya Lord Of The Ring ke dalam layar perak menjadikan Peter Jackson sebagai salah satu sutradara yang di perhitungkan dalam industri perfilman dunia internasional. Bagaimana tidak, hasil interpretasi novel karya J.R.R. Tolkien dapat disajikan dengan sangat baik (dan epic tentunya) dan sangat berkualitas oleh Peter Jackson. Para penikmat film dan pembaca novelnya seakan ikut tenggelam dalam dunia Middle-earth ala Peter Jackson. Bahkan New Zealand yang menjadi tanah kelahiran dari sang sutradara menjadikan Lord Of The Ring sebagai film nasional mereka. Sukses baik dari segi keuntungan blockbuster dan perolehan dalam ajang bergengsi sekelas Oscar menjadikan Peter Jackson memutuskan untuk membawa mengangkat kembali novel pre-quel dari Lord Of The Ring. Ya.. Peter Jackson memutuskan bahwa proyek selanjutnya adalah petualangan dari paman Frodo yaitu Bilbo Bagins dalam film The Hobbit.
Novel The Hobbit karya Tolkien sejatinya adalah novel yang terdiri dari satu buku bukan seperti Lord Of The Ring yang terbagi dalam tiga buah buku. Peter lantas memutuskan akan membagi The Hobbit ke dalam tiga film atau mengikuti trilogy Lord Of The Ring. Segera setelah kedua film terdahulunya (The Hobbit : Unexpected Journey dan The Desolation Of The Smaug), Peter memutuskan mengakhirinya dalam Battle Of The Five Armies. Apakah film penutup saga The Hobbit ini mampu membayar tuntas ekspektasi para penikmat film dan novelnya?
Apakah ini dapat menjadikannya sebuah penutup yang manis dalam trilogy The Hobbit (terlebih dalam dua film sebelumnya banyak penikmat film dan novel yang menganggapnya biasa saja)?
Tampaknya jawaban atas semua pertanyaan tersebut masih jauh dari harapan...
Benar.. ini merupakan sebuah end of era dari The Hobbit, namun tampaknya film ini tidak dieksekusi dengan baik oleh Peter Jackson. Dalam lanjutan babak ketiga dari The Hobbit ini, menceritakan tentang perjuangan terakhir Bilbo (Martin Freeman) bersama kedua belas Drawf yang dipimpin oleh Thorin Oakenshield (Richard Armitage) setelah mereka menguasai kembali Erebor. Bilbo juga mencoba untuk mencegah terjadinya perang besar yang melibatkan   pihak Drawf, Elf, dan manusia. Demikian cerita secara garis besar dalam saga penutup dari film The Hobbit ini.

Banyak sekali alur yang dipaksakan seakan ia ingin menampilkan suatu aksi tearikal yang epic. Pada paruh pertama film sudah tampak rasa terburu-buru tersebut dimana beberapa scene banyak meninggalkan kesan tidak rapi dan berlubang (saya tidak akan mengatakannya secara mendetail, namun beberapa adegan di awal film berjalan tidak alami antara sang hero dan anti-hero). Film ini sendiri terfokus pada empat konflik utama yaitu konflik antara tokoh Bard (diperankan oleh Luke Evans), Thorin Oakenshield (Richard Armitage) dan Bilbo (Martin Freeman), Thranduil (Lee Pace), dan tentu saja Gandalf (Ian Mckellen). Dimana dalam petualangan terakhir ini mereka akan menuntaskan semuanya akar permasalahan konflik mereka di Lonely Mountain Erebor.

Kesan cerita dari novel yang terasa dipanjang-panjangkan langsung muncul kedalam permukaan manakala cerita mulai bergulir menuju paruh kedua film. Banyak sekali adegan tidak penting dan terasa menghabiskan scene (lebih spesifiknya adalah scene yang sia-sia) ditemukan dalam paruh kedua film. Ada beberapa scene terutama yang melibatkan Tauriel (Evangeline Lilly) salah satu heroine membuat penikmat film mengerutkan dahi bertanya apakah scene tersebut penting untuk di tayangkan.
Peter Jackson seperti ingin langsung fokus pada pertempuran akhir (atau dapat disebut pertarungan tunggal akhir) antara good vs evil. Dan dapat ditebak, film ini kehilangan fokus menjelang akhir..
Ada beberapa adegan yang ditujukkan untuk penghormatan Lord Of The Ring, dimana Mithril ditampilkan kembali. Peter Jackson juga menyelipkan beberapa adegan untuk menjadi jembatan antara peristiwa The Hobbit dan Lord Of The Ring.. Namun terasa hampa dan kurang (meski apabila dipoles lebih baik dari segi cerita, maka akan menampilkan sesuatu yang menarik).
Babak akhir bergulir dengan banya adegan klise dan mudah ditebak (ayo lah..anda tidak dapat menampilkan pengulangan adegan seperti ini apabila anda telah melakukannya beberapa tahun lalu).
Visual yang penuh dengan CGI terkadang juga menjadi pengganggu dalam film ini, khususnya adegan konflik Thorin. Dan adegan perang yang terasa sangat lama namun hampa tidak seperti Lord Of The Ring.. Pemilihan Kamera jenis Red Epic sendiri menjadi senjata makan tuan bagi Peter Jackson, dimana apabila anda terbiasa dengan pemandangan Lord Of The Ring yang hangat maka hal tersebut tidak akan anda temui dalam film ini.
Kredit lebih saya berikan kepada Lee Pace, Martin Freeman, Richard Armitage, dan Benedict Cumberbatch yang mampu menampilkan peforma berkualitas (khusus Benedict Cumberbatch, ia sungguh dapat menghidupkan sosok Smaug sang naga dan Necromancer)...
Memang tidak adil membandingkan kedua saga ini secara langsung.. Namun dengan sutradara yang sama, kami mengharapkan adanya perasaan yang sama atau kepuasan yang sama ketika selesai menyaksikan film.
Film ini cukup menghibur, namun dalam ukuran skala penutup suatu saga trilogy tentunya masih kurang kuat dan cenderung terburu-buru..
Nampaknya memotong sebuah novel yang berjumlah kurang dari 400 halaman menjadi tiga bagian film merupakan suatu tindakan untuk mencari keuntungan semata.
Apalagi dengan sutradara sekelas Peter Jackson (dengan film sekelas Lord Of The Ring) tentu kami mengharapkan adanya film berkualitas dan epic..
Saran saya adalah saksikan film ini (apabila anda telah menyaksikan dua film terdahulunya) tanpa berharap lebih atau berekspektasi tinggi... cukup menikmati saja sajian perpisahan ala new modern Middle-earth ini..

Movie Trivia :
* Dalam film ini terdapat karakter anak dari Bard (Luke Evans) yang diperankan oleh Jhon Bell (sebagai Bain), Peggy Nesbitt (Sigrid), dan Marry Nesbitt (Tilda). Dimana ketiga anak tersebut merupakan anak dari aktor James Nesbitt pemeran tokoh salah satu Drawf Bofur.

* Ian Mckellen menyebutkan bahwa setidaknya ada tujuh pemeran pengganti sebagai Gandalf, dikarenakan ia tidak berusia muda kembali untuk melakoni adegan pertarungan.

Source : IMDb, The Guardian UK, Rogerebert movie viewers

Trailer link :
http://m.youtube.com/watch?v=ZSzeFFsKEt4

"Remember this... I am prepared to fight....For eternity.."
(Moses)

Director : Ridley Scott
Cast : Christian Bale, Joel Edgerton, Jhon Turturro, Aaron Paul, Ben Mendelshon, Sigourney Weafer, Ben Kingsley, Maria Valverde, Andrew Tarbet, Isaac Andrew
Runtimes : 150 minutes
IMDb rate : 6, 8 / 10
theblackticket rate : 4 / 5

Review :
Industri perfilman Hollywood telah sering kali menghasilkan beberapa film dengan tema biblical story dalam kurun waktu beberapa dekade terakhir ini. Film dengan tema perjalanan hidup orang suci tersebut seperti tidak habis di kupas oleh para sineas Hollywood.
Sebutlah film biblical story yang kondang seperti The Ten Commandments (karya sutradara Cecil B. DeMille, 1956) yang menghasilkan Oscar, Passion Of The Christ (karya Mel Gibson, 2004), atau Noah (karya Darren Aronofsky, 2014), selalu mampu menarik minat para penonton untuk memenuhi gedung bioskop. Dikarenakan film tersebut sarat makna atau dikarenakan adanya pro dan kontra yang tidak dapat lepas dari film tersebut.
Keputusan Ridley Scott untuk menjadikan kisah hidup Nabi Musa (Moses) sebagai proyek film selanjutnya mampu menarik banyak kalangan tertarik dan menantikan seperti apa film biblical story ala Ridley Scott. Terlepas ia adalah sutradara bertangan dingin yang mampu menghasilkan film kelas oscar (seperti Gladiator dan Robin Hood) atau film science fiction yang berkualitas (Alien dan Prometheus).
Publik seakan penasaran atas interpretasi Ridley Scott dalam ranah film berbau religiusitas, terlebih film tentang Nabi Musa telah lebih dulu difilmkan dan berhasil sukses dalam film The Ten Commandments karya Cecil B. DeMille.
Lalu..Bagaimanakah hasil film besutan Scott terbaru ini? Mampukah memuaskan publik? Atau film tersebut hanyalah sebuah tiruan dari karya lama dengan penambahan efek digital yang lebih maju?
Film terbaru Scott tentang Nabi Musa ini berjudul Exodus.. bercerita tentang Moses (yang diperankan oleh Christian Bale) yang tumbuh bersama dengan Ramses (Joel Edgerton) sebagai pangeran Mesir, sahabat, dan saudara. Konflik mulai datang manakala Moses mulai memahami siapa dirinya yang sebenarnya dan tujuan dirinya untuk menyelamatkan kaumnya dari perbudakan panjang bangsa Mesir. Demikian adalah garis besar dari cerita film Exodus ini.
Paruh pertama film, anda akan langsung disuguhkan oleh tayangan visual ala Ridley Scott. Panorama yang indah dan tampak detail seakan meyakinkan kita bahwa Mesir jaman dahulu memang selalu epic dan menakjubkan. Pengenalan tokoh utama juga berjalan sangat alami tanpa adanya paksaan, dimana kita dapat langsung melihat bahwa Moses dan Ramses memang layaknya dua orang saudara yang sangat dekat. Penggambaran Moses mampu diperankan oleh Christian Bale dengan sangat baik (dia seperti biasa mampu mengiris lewat kamera), demikian dengan sosok Ramses juga diperankan dengan apik oleh Joel Edgerton (kesan angkuh, selalu ingin berkuasa, dan mencintai dirinya sendiri mampu dibawakan dengan apik).
Film ini juga dengan baik mampu mengaduk-aduk emosi penonton, dimana dalam beberapa adegan terlihat mencekam dan begitu gelap.
Kredit lebih saya berikan kepada sosok Isaac Andrew yang memerankan sosok Malak (interpretasi sosok Tuhan, dalam film ini) yang mampu memerankannya dengan lugas, tegas, misterius dan tak jarang sedikit memiliki perasaan emosional.
Adegan perang dalam film ini juga disajikan tanpa berlebihan dan tampak lebih real (kembali tanpa adanya unsur paksaan dalam adegan ini).
Disamping menceritakan kisah Moses yang terkenal, film ini lebih mengutamakan romantisme bromance antara Moses dan Ramses yang kental serta trust issue yang menghancurkan mereka yang disampaikan oleh Scott dengan brilian dan menyentuh.
Scott seakan ingin memberikan gambaran kepada penonton dimana ketika dua orang saudara yang sangat dekat namun terpaksa harus saling berhadapan dan membela keyakinannya dan bangsanya, hal itu akan menyebabkan terjadinya suatu pergulatan emosional yang sangat menyakitkan diantara kedua orang kuat tersebut.
Sebuah film cerdas yang banyak memberikan pesan emosional (terlebih film ini ditujukan untuk adik dari Ridley Scott yaitu mendiang Tony Scott) dan sebuah film dengan tema bromance yang lekat.
Banyak yang mengatakan bahwa Exodus merupakan sebuah remake dari The Ten Commandments..Namun saya pribadi menilai bahwa hal tersebut tidak adil, karena Exodus merupakan sebuah karya biblical story yang dituangkan secara orisinal dan berkualitas oleh Ridley Scott.
Terlepas dari pro dan kontra yang menyertainya, ini merupakan sebuah film berkelas dengan seuntuhan historis dan religi yang dalam.
Salute Mr. Scott.. You are the epic director..

Movie Trivia :
* Christian Bale mengambil interpretasi Moses dari berbagai refrensi kitab suci dan beberapa data historis.
* Film ini merupakan film tercepat yang di selesaikan oleh Ridley Scott, dimana hanya dalam kurun waktu kurang lebih satu tahun.

Sources : The Guardian Uk, IMDb

"There's one other name you might
know me by... Star Lord."
(Peter Quill)

Director : James Gunn
Cast : Chris Pratt, Zoe Saldana, Dave Bautista, Bradley Cooper, Vin Diesel, Lee Pace, Karen Gillian, Djimon Hounsou, Benicio Del Toro, and Glenn Close

Run times : 121 minutes
IMdB rate  : 8, 3 / 10
theblackticket review : 4 / 5

Review :
Banyak orang mengerutkan dahi saat Marvel dan Walt Disney mengumumkan akan mengangkat Guardian Of The Galaxy sebagai film teranyar mereka dalam ajang Comic Coon 2013, hal yang sangat aneh tentunya untuk langkah kedua nama besar dalam dunia perfilman tersebut untuk menandai Marvel Cinematic Universe fase 2 buatan mereka.
Bukan tanpa sebab pastinya, ayo lah..kita harus mengakui bahwa kita telah sangat akrab dan paham mengenai para superheroes buatan Marvel. Sebutkan saja nama superheroes buatan Marvel, maka akan muncul nama familiar seperti Iron Man, Captain America, Thor, X-men, Spiderman, dan masih banyak lagi..
Namun Guardian Of The Galaxy?
Saya berani bertaruh bahwa anda pasti baru mendengar atau mungkin mengenalinya sebatas angin lalu. Sungguh suatu pertaruhan besar bagi Marvel dan Disney untuk mengangkat karakter-karakter ini ke dalam film live action. Dengan popularitas yang minim dan banyak pertaruhan mereka mempercayakan kepada seorang filmmaker yang tidak terlalu populer di kalangan movie viewers yaitu James Gunn.
Lalu apakah hal tersebut merupakan langkah yang tepat?
James Gunn berhasil menjawab pertanyaan tersebut dengan sangat mantap dan meyakinkan. Sukses secara kualitas dan komersil membuktikan bahwa superhero tidak hanya dikuasai oleh karakter mayor saja, namun karakter antihero atau minor mampu berbicara banyak dalam block buster movie.
Guardian Of The Galaxy (GOTG), bercerita tentang Peter Quill (Chris Pratt) adalah seorang manusia yang di culik dan di besarkan oleh kawanan pirates luar angkasa, dimana ia harus mengalami petualangan yang mengharuskan ia bekerja sama bersama Gamora (Zoe Saldana), Rocket (Bradley Cooper), Drax (Dave Bautista), dan Groot (Vin Diesel) sekelompok orang (atau makhluk?) yang memiliki masing-masing tujuan demi mengamankan infinity stone dari tangan Rhonan (Lee pace). Konsep cerita yang sederhana namun berkesan bagi sebagian besar penonton. Sungguh sajian aksi dalam film ini terbangun rapi dengan jalinan cerita dan humor yang menarik. Sejak fase awal film, James Gunn seperti tidak memaksakan pengenalan tokoh karakter GOTG, namun ia membiarkan penonton mengikuti alur cerita diselingi banyak adegan humor yang tepat. Semua aspek dalam film ini adalah fantastis dan selalu membuat penonton seakan bersimpati dengan apa yang dialami oleh kelima tokoh utamanya.
Pemilihan Chris Pratt sebagai Peter Quill adalah langkah brilian, Chris Pratt membuktikan bahwa ia telah layak menyandang predikat the leading man on the movie.. lalu bagaimana dengan pemeran lainnya?
Semuanya memiliki kekhasan yang unik dan seakan selalu tertanam dalam benak penonton (entah dari cara Groot berbicara atau cara Rocket yang selalu cerewet namun mengundang simpati hingga pesona Gamora sebagai lady assassin).. Jangan lupakan pula kehadiran Drax (Dave Bautista) yang patut diberikan kredit lebih atas karakter yang unik dan berkesan.
Lee Pace juga seakan tidak ketinggalan menunjukkan bahwa ia mampu memerankan seorang villain menyeramkan namun sangat..ya..sangat badass..
Satu hal yang saya puji adalah pemilihan score dan sountrack film, dimana James Gunn menghadirkan sejuta kenangan atas tembangan tahun 80'an sepanjang film seakan menandakan bahwa Peter Quill mengajak kita untuk mengikuti petualangan ala Star Warsnya dengan alunan musik 80'an.
Over all.. sebuah film yang sangat menarik dan membuat anda memahami bahwa superhero tidak selamanya datang dari sosok good guys saja.. kadang kala, sosok bad guys atau loser mampu membalikkan prediksi banyak orang..
James Gunn berhasil membangkitkan romantisasi akan sosok superhero dalam sosok anak kecil di dalam diri tiap orang.
Everybody..Let's say i'm Groot!!!

" People are affraid of what they don't understand..."
(Jonathan Kent)

Director : Zack Snyder
Cast : Henry Cavill, Amy Adams, Michael Shannon, Russell Crowe, Kevin Costner, Laurence Fishburne, Diane Lane
Runtimes : 2013
IMdB rate : 7, 3 / 10
theblackticketreview rate : 2, 5 / 5

Review :
Tema superhero sepertinya sedang menjadi suatu tren yang menghasilkan keuntungan besar bagi rumah produksi film di ranah Hollywood. Apalagi terkait dengan Warner Brothers dengan DC comicnya dan Walt Disney yang menggandeng Marvel comic (termasuk Sonny Pictures), kedua perusahaan tersebut seperti tidak henti-hentinya menghasilkan film superhero demi menghasilkan keuntungan bagi mereka dan demi kelangsungan masing-masing franchise movie mereka.
Terlebih Warner Brothers selepas berakhirnya The Dark Night Trilogy (film superhero terbaik dari mereka menurut saya), maka dengan segera mereka mencari pengganti untuk franchise superhero unggulan mereka tersebut (ayo lah akui saja.. Green Latern berakhir dengan mengenaskan hingga untuk sequel saja Jordan Hall harus menunggu dengan waktu yang tidak di tentukan). Lantas, apakah yang menjadi syarat untuk menjadi franchise film superhero yang berkualitas dan menghasilkan keuntungan besar? Karakter superhero yang telah dikenal luas oleh khalayak umum (jelas!!), sutradara dengan tangan dingin yang mampu menghidupkan sosok superhero tersebut dalam layar lebar, aktor atau aktris yang mampu menghidupkan dan mendalami karakter dalam film superhero tersebut, dan tentunya susunan cerita dan aksi yang siap membuat para fan boy or girl terhibur (atau banyak kalangan merasa puas setelah menyaksikan film superhero tersebut).
Atas dasar tersebut, maka Warner memutuskan untuk kembali menghidupkan kembali sosok Superman ke dalam layar perak (setelah gagal oleh Superman arahan Bryan Singer, dimana Brandon Routh tampak seperti boneka Ken dengan sepasang celana berenang merah di luar..), lalu apakah upaya tersebut berhasil? Apakah Superman akan kembali menjadi franchise andalan mereka?
Sayangnya.... Tidak..
Sukses secara komersil namun gagal secara kualitas, itulah yang terjadi pada film terbaru Superman dengan judul Man Of Steel (dari judul Snyder nampaknya meniru pemberian judul Nolan pada film batmannya, dengan tidak menyebutkan nama superhero tersebut dalam judul filmnya).
Dari awal film kita dapat melihat bahwa pengaruh Christopher Nolan sebagai eksekutif produser film ini nampak jelas terlihat, dimana dunia Krypton tampak megah dan suram. Pemilihan Russell Crowe sebagai Jor-El sendiri adalah langkah tepat dimana ia dengan kharismatik mampu menampilkam Jor-El sebagai sosok tegas namun memiliki kerapuhan tersendiri. Sayangnya adegan kematian Jor-El sendiri bagaikan kertas datar tanpa ekspresi (satu dari banyak adegan yang tampak terburu-buru).
Lalu bagaimana dengan Henry Cavill?Apakah ia mampu memerankan sang manusia besi dengan baik?..
Paruh pertama film ia tampak meyakinkan, dimana emosinya sebagai sosok yang frustasi mencari jati diri mampu dibawakan dengan baik. Sampai pada titik saat ia berjubah dan bertemu dengan Lois Lane (Amy Adams terlihat jauh lebih tua, pemilihan casting yang buruk..), dimana Henry Cavill nampak sangat datar dan sangat biasa (Warner nampak akan kesulitan menemukan pengganti Christhoper Revee).
Untuk villainnya sendiri yang diperankan Michael Shannon (sangat disayangkan, ia sebenernya adalah aktor bagus dan berkualitas) memiliki kesan kurang kharismatik, General Zodd akan gampang dilupakan oleh banyak orang. Sayang sekali.. Ide cerita yang menarik dari Nolan tidak dapat dieksekusi dengan baik oleh Snyder. Banyak adegan yang terlalu buru-buru dan dipaksakan, menantikan sequel? Mungkin masih bisa diperbaiki (dengan begitu banyak kekurangan di film pertamanya) dan tentunya eksekusi berkualitas oleh Snyder sendiri.
Sebagai fan boy anda akan merasa kecewa, dan sebagai penonton umum, film ini tidak lebih dari hiburan semata.
Well..we still give you another shoot Mr. Snyder..

Movie Trivia :
Amanda Seyfried sempat menjalani proses casting dan screening test untuk cas Lois Lane, namun gagal saat fase akhir.
   

Director : Steve McQueen
Cast : Michael Fassbender, Carey Mulligan, Nicole Beharie, James Badge Dale
Runtimes : 101 min
IMDb rate : 7,3 / 10
theblackticket rate : 4 / 5 

Review :
Banyak sekali film yang mengangkat sebuah tema seksual sebagai inti cerita dari film tersebut. Sebagai contoh, kita tentu mengingat bagaimana kontroversi film Nymphomaniac vol.1 & 2 karya sutradara Lars Von Trier, bahkan banyak yang menganggap film tersebut hanyalah film porno belaka (tidak bagi saya jujur..).
Membuat sebuah film dengan tema seksual hampir dapat dikatakan bahkan di kategorikan sebagai film anti mainstream di ranah hollywood (apa lagi dengan jaman budget jutaan dollar dan spesial efek canggih seperti saat ini). Dibutuhkan cerita yang kuat dari seorang sutradara dan penggambaran karakter yang kuat oleh aktor untuk menampilkan sebuah film dengan kontent atau tema seksual. Bila kedua hal tersebut gagal, maka film tersebut hanya disebut sebagai film porno belaka.
Namun salah satu film yang berhasil menampilkan sebuah keutuhan dan skrip cerita kuat serta pendalaman karakter aktor yang kuat terdapat dalam film Shame.
Saya sendiri tidak ragu menyebutkan bahwa Steve McQueen adalah sutradara dengan kelas oscar dan Fassbender (tidak hanya didukung oleh penampilan good looking saja) mampu menampilkan penampilan epic setelah Film Hunger. Cerita film ini cukup sederhana, yaitu menampilkan konflik yang di hadapi oleh seorang pecandu seksual dan bagaimana ia menghadapi konflik tersebut.
Fassbender mampu menampilkan ekspresi sedih, tajam, bahkan sakit ketika memainkan peran brandon, seorang pria berusia akhir 30 tahun yang memiliki kecanduan seksual tinggi.
Brandon ibarat sebuah ironi bagi masyarakat modern. Bagaimana tidak, di tengah kehidupan mapannya di kota besar New York ia merasakan kesepian yang membawanya pada kecanduan seksual tersebut. Di pagi Hari ia hanyalah salah eksekutif muda sukses yang bekerja di sebuah perusahaan dan di malam hari ia adalah seorang predator seksual yang selalu mencari mangsanya.
Konflik juga muncul dalam bentuk sissy (yang diperankan dengan apik oleh carey mulligan) adik perempuan brandon yang datang tanpa tujuan yang pasti.
Saya sendiri memberikan kredit lebih untuk carey mulligan dimana ia mampu menampilkan kedalaman karakter adik yang kadang mengganggu, rapuh, dan memiliki masalah pribadi yang kompleks.
Salah satu scene yang mencuri perhatian adalah ketika brandon datang bersama bosnya untuk melihat sissy menyanyi di sebuah cafe New York. Sissy menyanyikan lagu new york new york seakan akan ingin memberitahukan bahwa New York adalah kota penuh impian dan semua yang hidup di kota tersebut bahagia (saya merasakan emosi yang ditampilkan carey mulligan dan fassbender saat scene tersebut).
Steve McQueen berhasil mengaduk-aduk emosi penonton manakala brandon mulai membuka perasaannya terhadap rekan wanitanya di kantor dan mulai meninggalkan kebiasaan seksualnya. Apakah hal tersebut berhasil? anda harus menyaksikan film tersebut.
Film ini juga menunjukkan bahwa film berkualitas tidak hanya didukung oleh spesial efek mahal dan jutaan dollar dana pembuatan, namun film yang bagus adalah sebuah film dengan konsep, pendalaman karakter dan keutuhan cerita yang menarik.
Saya sendiri menilai film ini dengan rating : 4 dari skala 1 s/d 5.
dan yahhh.. sepertinya fassbender tidak perlu waktu lama untuk mendapatkan oscar dengan kualitas akting yang dimilikinya.
"Mankind was born on Earth. It was never meant
to die here."
Professor Brand
Director : Chris Nolan
Screenwriter : Jonathan Nolan, Chris Nolan
Cast : Matthew McConaughey, Mackenzie Foy, Anna Hathaway, Bill Irwin, Casey Affleck, Jhon Litgow, Michael Caine, West Bentley, and Ellen Burstyn
Runtimes : 169 minutes
IMDb rate : 9 / 10
theblackticket rate : 4 / 5
Reviews :
Berapa banyak sutradara Hollywood saat ini yang mampu membuat sebuah film orisinal, idealis, dan tetap menghasilkan sebuah pemasukan besar di Blockbuster?
Well, jujur saja..tidak banyak. Kebanyakan sutradara Hollywood saat ini membuat film berdasarkan sebuah novel remaja yang sedang naik daun, game popular di kalangan umum, atau bahkan para superhero yang seperti wabah tidak habis-habisnya di angkat untuk menjadi sebuah film live-action.
Industri Hollywood saat ini menuntut seorang film maker untuk menghasilkan sebuah film bermasukan tinggi (bila sukses dilanjutkan ke dalam jalinan trilogy, fourthlogy, or may be eleventhogy?). Menurut saya, hanya beberapa film maker yang tetap mencoba menampilkan karya orisinal mereka, bukan dari adaptasi buku, game, atau reboot sebuah film dan mereka tetap sukses.
Salah satu sutradara tersebut adalah Chris Nolan. Ya Christhoper Nolan, bagi anda penikmat film tentu paham dengan karakteristik film Nolan. Penuh twist, alur cerita sedikit membingungkan, gambar-gambar tajam, dan hal-hal lain yang membuat penggemar sci-fy terpesona.
Apa yang akan ditawarkan oleh seorang Nolan ketika ia merilis film baru? Alur cerita macam apa yang akan dituturkan oleh Nolan dalam filmnya tersebut? Apakah akan ada elemen kejutan? Apakah Nolan mampu menjaga konsistensi kekhasannya dalam film tersebut? Dan apakah Nolan akan sukses dengan film tersebut?
Pertanyaan di atas selalu ditanyakan oleh para movie viewers dan kritikus film. Entah dikarenakan Nolan yang setia menjaga kerahasiaan informasi filmnya ataupun karena reputasi yang tertanam padanya.
Film terbarunya sendiri berjudul Interstellar (jujur, saya sendiri bertanya-tanya apa makna judul ini sebelum menonton). Film ini bercerita tentang pencarian manusia terhadap planet hunian baru dikarenakan bumi telah hampir musnah. Dimana seorang mantan pilot NASA bernama Cooper (diperankan dengan baik oleh Matthew McConaughey) beralih profesi menjadi petani jagung setelah NASA di berhentikan oleh pemerintah. Cooper adalah seorang duda yang tinggal dengan dua orang anak yaitu murphy (sewaktu usia 10 tahun diperankan oleh Mackenzei foy) dan tom ( sewaktu berusia 15 tahun diperankan olehTimothée Chalamet), dan kakek mereka Donald (Jhon Litgow). Cooper kemudian terlibat secara tidak langsung dengan barisan kode yang ditemukan oleh murph di kamarnya yang menuntunnya kepada kantor rahasia NASA dimana ia di rekrut oleh kepala NASA profesor Brand (Michael Caine) untuk bergabung dalam sebuah tim yang terdiri dari anak profesor Brand sendiri Amelia Brand (Anne Hathaway), profesor doyle (Wes Bentley), dan rekan fisikawan mereka Romilly (David Gyasi). Misi mereka adalah mencari planet hunian baru bagi umat manusia.
Well..secara garis besar demikian sinopsis dari film tersebut. Lantas apakah Nolan mampu menjawab ekspektasi banyak orang setelah menyaksikan film anyarnya?
Jawabannya adalah ya.. kembali Nolan membuktikan tangan emasnya berhasil menghasilkan sebuah film antariksawan yang menarik, alur cerita yang tersusun baik, dan pemilihan aktor yang tepat. Saya sendiri berpendapat bahwa Interstellar adalah film astronot atau luar angkasa yang lebih menyerupai Space Odyssey karya Stanley Kubrick namun lebih ringan dan lebih berbobot daripada film Gravity besutan Alfonso Cuarón. Apabila Gravity hanya menyajikan survival ala Sanctum di luar angkasa dan berhasil memukau banyak orang (termasuk visual effect dan score silent tersebut), maka Interstellar menyajikan visual effect,pemandangan epik, konflik individu yang kompleks, dan tentunya paduan twist yang keren.
Jangan lupa gubahan scoring dari Hans Zimmer yang menyayat dan mampu memainkan emosi penonton, bahkan di awal Nolan dan Zimmer bereksperimen dengan suara berisik namun tetap membuat penonton terpukau.
Bagaimana dengan penampakan black hole yang menjadi salah satu isu utama dalam film ini? Lalu bagaimana dengan banyak teori fisika yang digunakan dalam film ini?
Nolan menyajikan pemandangan black hole secara indah dan menawan. Saya yakin apabila anda penggemar acara ilmiah luar angkasa, maka anda akan betah menatap pemandangan hasil interpretasi Nolan terhadap black hole (dan pemandangan luar angkasa lainnya). Sedangkan untuk teori fisika (konon Jonathan Nolan harus mengikuti kuliah fisika antariksa selama 4 tahun untuk menghasilkan script movie sedetail mungkin untuk film ini), anda cukup menikmati saja dikarenakan film ini menjabarkan dan menjelaskan secara menarik (tidak seperti mengikuti kelas kuliah fisika yang membosankan tentunya) teori tersebut.
Kredit lebih saya berikan kepada Mackenzie Foy atas aktingnya yang menawan dan chemistry yang dibangun dengan Matthew McConaughey (pilihan film yang bijak setelah ia bermain dalam breaking dawn) dan Bill Irwin yang mencuri perhatian sebagai pengisi suara robot TARS, dimana Irwin mampu menghidupkan karakter robot tersebut secara apik (dengan lelucon sarkatisnya tentunya).
Bagi saya sendiri, film ini bukan  tentang perjalanan menyelamatkan umat manusia. Tetapi lebih kepada perjalanan seseorang untuk menyelamatkan dan menemukan kembali orang yang ia cintai. Film ini juga banyak menyentuh hubungan antara seorang anak dan bapak. Salah satu adegan yang cukup menyentuh adalah ketika Cooper berpamitan dengan murph, dimana murph tidak tahu kapan ayahnya akan kembali lagi.
So..How far you would to go find someone you love for?
Kata-kata tersebut lebih tepat untuk film ini.
Dan sekali lagi..Well done Mr. Nolan..Well done..
 
Copyright © 2015 The Black Ticket Movie Review
Distributed By Gooyaabi Templates